This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Pages

Kamis, 16 November 2017

Pajak dalam Perspektif semua Agama


Menjadi penting bagi mahasiswa  untuk mengetahui pajak dalam perspektif semua agama.  Pajak ada yang menyamakannya dengan Zakat (keyakinan agama Islam),tetapi tidak sedikit juga yang mengatakan bahwa pajak dan zakat itu sangat berbeda.  Pajak di kalangan konservatif mengatakan itu sesuatu yang haram,tetapi di kalangan pemikiran kontemporer pajak adalah sesuatu yang halal dan mubah. Oleh karena itu,saya sebagai dosen memberikan tugas kepada mahasiswa untuk mencari/menelaah/menganalisa dengan melihat fenomena/real life dan mengkaitkannya dengan perspektif agama, mengingat mahasiswa saya berasal dari latar belakang agama yang berbeda.  Tugas Makalah ini adalah hasil dari diskusi kelompok. Saya sebagai dosen berharap dengan tugas yang saya berikan mereka dapat lebih memahami pajak dalam perspektif semua agama,karena menurut saya AGAMA tidak bisa kita pisahkan dari kehidupan sehari-hari.  AGAMA merupakan fondasi/dasar dalam menjalani hidup. Berikut tugas makalahnya:

Suasana Perkuliahan Mata Kuliah Perpajakan


Mata Kuliah ini berlangsung pada hari Jum'at,tepatnya jam 13.00 WITA setelah selesai shalat Jum'at. Alhamdulillah mahasiswa/i masih antusias untuk mengikuti walaupun di jam pelajaran seperti ini rasa kantuk,panas mendera.  Inilah ekspresi mereka yang sempat saya dokumentasikan :









Pembelajaran Mata Kuliah Perpajakan

Metode Kolaboratif pada Mata Kuliah Perpajakan di Kelas Manajemen A


Perpajakan merupakan salah satu mata kuliah yang diajarkan di semester 7. Tujuan dari mempelajari mata kuliah ini di jurusan manajemen adalah agar para mahasiswa mengetahui mengenai sistem perpajakan yang diterapkan di INDONESIA dan dapat mengaplikasikannya di perusahaan  ketika mereka sudah terjun langsung di lapangan/real world. Sistem Perpajakan yang dimaksud adalah seluruh ketentuan umum,cara perhitungan pajak badan usaha maupun perorangan. Dosen yang mengampuh mata kuliah ini ada dua orang yaitu dosen dari jurusan Akuntansi dan saya sendiri dari Manajemen. Jadi ada kombinasi antara manajemen dan akuntansi dalam menganalisa pajak dan manfaatnya dalam pengambilan keputusan. Di Akuntansi lebih fokus ke pencatatan dan perhitungan pajak sedangkan dari manajemen adalah bagaimana manajemen perpajakan itu sendiri yaitu bagaimana perencanaan (tax planing),penerapan (tax implementation) dan pengawasan/pengendalian (tax controling).

Metode pembelajaran yang saya terapkan dalam mata kuliah ini adalah metode kooperatif dengan memberikan tugas kelompok kepada mahasiswa mengingat mereka sudah memasuki semester 7 (tujuh). Kematangan dan berpikir kritis terhadap fenomena yang terjadi diluar untuk anak mahasiswa di semester atas sudah mulai terbentuk,oleh karena itu saya sebagai dosen hanya berperan sebagai fasilitator. Ada VII (tujuh) kelompok yang saya bentuk dan yang menjadi anggota kelompok yang saya bentuk berdasarkan IPK yang mereka sudah raih,tujuannya adalah agar ada pemerataan “pengetahuan/kecerdasan akademik” diantara anggota kelompok. Berikut hasil dari tugas dan diskusi yang mereka sudah lakukan..


Minggu, 12 November 2017

Model Pembelajaran Kooperatif

MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF (COOPERATIVE LEARNING)

Posted: 27 May 2013 in Strategi Belajar Mengajar
6

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Pembelajaran kooperatif muncul karena adanya perkembangan dalam sistem pembelajaran yang ada. Pembelajaran kooperatif menggantikan sistem pembelajaran yang individual. Dimana guru terus memberikan informasi ( guru sebagai pusat ) dan peserta didik hanya mendengarkan. Pembelajaran kooperatif mendapat dukungan dari Vygotsky tokoh teori kontruktivisme. Dukungan Vygotsky antara lain:
a. Menekankan peserta didik mengkonstruksi pengetahuan mealui interaksi sosial dengan orang lain.
b. Selain itu dia juga berpendapat bahwa penekanan belajar sebagai proses dialog interaktif. Semua hal tersebut ada dalam pembelajaran kooperatif.
c. Arti penting belajar kelompok dalam pembelajaran.
Pembelajaran kooperatif ini membuat siswa dapat bekerjasama dan adanya partisiasi aktif dari siswa. Guru sebagai fasilisator dan pembimbing yang akan mengarahkan setiap peserta didik menuju pengetahuan yang benar dan tepat.



 PEMBAHASAN
A.  PENGERTIAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF
Adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar.
B.  KONSEP DASAR PEMBELAJARAN KOOPERATIF
Pada dasarnya manusia mempunyai perbedaan, dengan perbedaan itu manusia saling asah, asih, asuh ( saling mencerdaskan ). Dengan pembelajaran kooperatif diharapkan saling menciptakan interaksi yang asah, asih, asuh sehingga tercipta masyarakat belajar ( learning community ). Siswa tidak hanya terpaku belajar pada guru, tetapi dengan sesama siswa juga.
Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sengaja mengembangkan interaksi yang silih asuh untuk menghindari ketersinggungan dan kesalahpahaman yang dapat menimbulkan permusuhan, sebagai latihan hidup di masyarakat.
C.  CIRI-CIRI PEMBELAJARAN KOOPERATIF
Didalam pembelajaran kooperatif terdapat elemen-elemen yang berkaitan. Menurut  Lie ( 2004 ):
1. Saling ketergantungan positif
Dalam pembelajaran kooperatif, guru menciptakan suasana yang mendorong agar siswa merasa saling membutuhkan atau yang biasa disebut dengan saling ketergantungan positif yang dapat dicapai melalui : saling ketergantungan mencapai tujuan, saling ketergantungan menyelesaikan tugas, saling ketergantungan bahan atau sumber, saling ketergantungan peran, saling ketergantungan hadiah.
2. Interaksi tatap muka
Dengan hal ini dapat memaksa siswa saling bertatap muka sehingga mereka akan berdialog. Dialog tidak hanya dilakukan dengan guru tetapi dengan teman sebaya juga karena biasanya siswa akan lebih luwes, lebih mudah belajarnya dengan teman sebaya.
3. Akuntabilitas individual
Pembelajaran kooperatif menampilkan wujudnya dalam belajar kelompok. Penilaian ditunjukkan untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap materi pelajaran secara individual. Hasil penilaian ini selanjutnya disampaikan oleh guru kepada kelompok agar semua kelompok mengetahui siapa kelompok yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan,maksudnya yang dapat mengajarkan kepada temannya. Nilai kelompok tersebut harus didasarkan pada rata-rata, karena itu anggota kelompok harus memberikan kontribusi untuk kelompnya. Intinya yang dimaksud dengan akuntabilitas individual adalah penilaian kelompok yang didasarkan pada rata-rata penguasaan semua anggota secara individual.
4. Keterampilan menjalin hubungan antar pribadi
Keterampilan sosial dalam menjalin hubungan antar siswa harus diajarkan. Siswa yang tidak dapat menjalin hubungan antar pribadi akan memperoleh teguran dari guru juga siswa lainnya.
D.  UNSUR – UNSUR MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF
Menurut Roger dan David Johnson ada 5 unsur dalam model pembelajaran kooperatif, yaitu :
1. Positive interdependence ( saling ketergangtungan positif )
Unsur ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif ada 2 pertanggungjawaban kelompok. Pertama, mempelajari bahan yang ditugaskan kepada kelompok. Kedua, menjamin semua anggota kelompok secara individu mempelajari bahan yang ditugaskan tersebut.
Beberapa cara membangun saling ketergantungan positif yaitu :
a)    Menumbuhkan perasaan peserta didik bahwa dirinya terintegrasi dalam kelompok, pencapaian tujuan terjadi jika semua anggota kelompok mencapai tujuan.
b)   Mengusahakan agar semua anggota kelompok mendapatkan penghargaan yang sama jika kelompok mereka berhasil mencapai tujuan.
c)    Mengatur sedemikian rupa sehingga setiap peserta didik dalam kelompok hanya mendapatkan sebagian dari keseluruhan tugas kelompok.
d)   Setiap peserta didik ditugasi dengan tugas atau peran yang saling mendukung dan saling berhubungan, saling melengkapi dan saling terikat dengan peserta didik lain dalam kelompok.
2. Personal responsibility ( tanggung jawab perorangan )
Tanggung jawab perorangan merupakan kunci untuk menjamin semua anggota yang diperkuat oleh kegiatan belajar bersama.
3. Face to face promotive interaction ( interaksi promotif )
Unsur ini penting untuk dapat menghasilkan saling ketergantungan positif. Ciri – ciri interaksi promotif adalah :
a.   Saling membantu secara efektif dan efisien
b.   Saling memberi informasi dan sarana yang diperlukan
c.    Memproses informasi bersama secara lebih effektif dan efisien
d.   Saling mengingatkan
e.   Saling percaya
f.    Saling memotivasi untuk memperoleh keberhasilan bersama
4. Interpersonal skill ( komunikasi antar anggota / ketrampilan )
Dalam unsur ini berarti mengkoordinasikan kegiatan peserta didik dalam pencapaian tujuan peserta didik, maka hal yang perlu dilakukan yaitu :
a.   Saling mengenal dan mempercayai
b.   Mampu berkomunikasi secara akurat dan tidak ambisius
c.   Saling menerima dan saling mendukung
d.  Mampu menyelesaikan konflik secara konstruktif.
5. Group processing ( pemrosesan kelompok )
Dalam hal ini pemrosesan berarti menilai. Melalui pemrosesan kelompok dapat diidentifikasi dari urutan atau tahapan kegiatan kelompok dan kegiatan dari anggota kelompok. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas anggota dalam memberikan kontribusi terhadap kegiatan kolaboratif untuk mencapai tujuan kelompok.
E.  TUJUAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF
1. Meningkatkan hasil belajar akademik
Meskipun pembelajaran kooperatif meliputi berbagai macam tujuan social, tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas – tugas akademik. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep – konsep yang sulit.
2. Penerimaan terhadap keragaman
Pembelajaran kooperatif memberi peluang kepada siswa yang berbada latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung satu sama lain atas tugas – tugas bersama.
3. Pengembangan ketrampilan sosial
Mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi untuk saling berinteraksi dengan teman yang lain.
F.   PERBEDAAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN PEMBELAJARAN TRADISIONAL
Kelompok Belajar Kooperatif
Kelompok Belajar Tradisional
Adanya saling ketergantungan positif, saling membantu dan saling memberikan motivai sehingga ada interaksi promotif. Guru sering membiarkan adanya siswa yang mendominasi kelompok atau menggantungkan diri pada kelompok.
Adanya akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan materi pelajaran tiap anggota kelompok. Kelompok diberi umpan balik tentang hasil belajar para anggotanya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan. Akuntabilitas individual sering diabaikan sehingga tugas- tugas sering diborong oleh salah seorang anggota kelompok, sedangkan anggota kelompok lainnya hanya ‘enak-enak saja’ diatas keberhasilan temannya yang dianggap ‘ pemborong’.
Kelompok belajar heterogen, baik dalam kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, etnik, dsb sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan. Kelompok belajar biasanya homogen
Pimpinan kelompok dipilih secara demokratis atau bergilir untuk memberikan pengalaman memimpin bagi para anggota kelompok. Pemimpin kelompok sering ditentukan oleh guru atau kelompok dibiarkan untuk memilih pemimpinnya dengan cara masing-masing.
Ketrampilan social yang diperlukan dalam kerja gotong royong seperti kepemimpinan, kemampuan berkomu nikasi, mempercayai orang lain dan mengelola konflik secara langsung diajarkan. Ketrampilan sosial sering tidak diajarkan secara langsung.
Pada saat belajar kooperatif sedang berlangsung, guru terus melakukan pemantauan melalui observasi dan melakukan intervensi jika terjadi masalah dalam kerja sama antar anggota kelompok. Pemantauan melalui observasi dan intervensi sering dilakukan oleh guru pada saat belajarkelompok sedang berlangsung.
Guru memperhatikan secara langsung proses kelompok yang terjadi dalam kelompok – kelompok belajar. Guru sering tidak memperhatikan proses kelompok yang terjadi dalam kelompok – kelompok belajar.
Penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas tetapi juga hubungan interpersonal (hubungan antar pribadi yang saling menghargai). Penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas.
G. KEUNTUNGAN PENGGUNAAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF
Keuntungan pembelajaran kooperatif diantaranya adalah :
  1. Meningkatkan kepekaan dan kesetiakawanan social
  2. Memungkinkan para siswa saling belajar mengenai sikap, ketrampilan, informasi, perilaku sosial, dan pandangan-pandangan.
  3. Memudahkan siswa melakukan penyesuaian sosial.
  4. Memungkinkan terbentuk dan berkembangnya nilai – nilai sosial dan komitmen.
  5. Menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri atau  egois.
  6. Membangun persahabatan yang dapat berlanjut hingga masa dewasa.
  7. Berbagi ketrampilan sosial yang diperlukan untuk memelihara hubungan saling membutuhkan dapat diajarkan dan dipraktekkan.
  8. Meningkatkan rasa saling percaya kepada sesama manusia.
  9. Meningkatkan kemampuan memandang masalah dan situasi dari berbagai perspektif.
  10. Meningkatkan kesediaan menggunakan ide orang lain yang dirasakan lebih baik.
  11. Meningkatkan kegemaran berteman tanpa memandang perbedaan kemampuan, jenis kelamin, normal atau cacat, etnis, kelas sosial, agama dan orientasi tugas
H.  SINTAK MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF
FASE – FASE PERILAKU GURU
Fase 1 : present goals and set
Menyampaikan tujuan dan memper siapkan peserta didik
Menjelaskan tujuan pembelajaran dan mempersiapkan peserta didik siap belajar.
Fase 2 : present information
Menyajikan informasi
Mempresentasikan informasi kepada paserta didik secara verbal.
Fase 3 : organize students into learning teams
Mengorganisir peserta didik ke dalam tim – tim belajar
Memberikan penjelasan kepada peserta didik tentang tata cara pembentukan tim belajar dan membantu kelompok melakukan transisi yang efisien.
Fase  4 : assist team work and study
Membantu kerja tim dan belajar
Membantu tim- tim belajar selama peserta didik mengerjakan tugasnya.
Fase 5 : test on the materials
Mengevaluasi
Menguji pengetahuan peserta didik mengenai berbagai materi pembelajaran atau kelompok- kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
 Fase 6 : provide recognition
Memberikan pengakuan atau penghargaan
Mempersiapkan cara untuk mengakui usaha dan prestasi individu maupun kelompok.
I.     TEKNIK – TEKNIK PEMBELAJARAN KOOPERATIF
1. Metode STAD ( Student Achievement Divisions ) 
Metode ini dikembangkan oleh Robert Slavin dan kawan – kawan dari universitas John Hopkins. Metode ini digunakan para guru untuk mengajarkan informasi akademik baru kepada siswa setiap minggu, baik melalui penilaian verbal maupun tertulis. Langkah – langkahnya :
a.    Para siswa di dalam kelas dibagi menjadi beberapa kelompok atau tim, masing – masing terdiri atas 4 atau 5 anggota. Tiap kelompok memiliki anggota yang heterogen, baik jenis kelamin, ras, etnik, maupun kemampuan ( tinggi, sedang, rendah ).
b.   Tiap anggota tim/kelompok menggunakan lembar kerja akademik dan kemudian saling membantu untuk menguasai bahan ajar melalui tanya jawab atau diskusiantar sesama anggota tim/ kelompok.
c.    Secara individual atau tim, tiap minggu atau tiap dua minggu akan mengevaluasi untuk mengetahui penguasaan mereka terhadap bahan akademik yang telah dipelajari.
d.   Tiap siswa dan tiap tim diberi skor atas penguasaannya terhadap bahan ajar, dan kepada siswa secara individual atau tim yang meraih prestasi tinggi atau memperoleh skor sempurna diberi penghargaan. Kadang – kadang beberapa atau semua tim memperoleh penghargaan jika mampu meraih suatu criteria atau srandar tertentu.
2. Metode Jigsaw
Langkah – langkahnya :
a.    Kelas dibagi menjadi beberapa tim yang anggotanya terdiri 4 atau 5 siswa dengan karakteristik yang heterogen.
b.   Bahan akademik disajikan kepada siswa dalam bentuk teks dan setiap siswa bertanggung jawab untuk mempelajari suatu bagian dari bahan akademik tersebut.
c.    Para anggota dari beberapa tim yang berbeda memiliki tanggung jawab untuk mempelajari suatu bagian akademik yang sama dan selanjutnya berkumpul untuk saling membantu mengkaji bagian bahan tersebut (kelompok pakar / expert group).
d.   Selanjutnya para siswa yang berada dalam kelompok pakar kembali ke kelompok semula ( home teams )untuk mengajar anggota lain mengenai materi yang telah dipelajari dalam kelompok pakar.
e.    Setelah diadakan pertemuan dan diskusi dalam “ home teams “ para siswa dievaluasi secara individual mengenai bahan yang telah dipelajari.
3. Metode G ( Group Investigation )
Metode ini dirancang oleh Herbet Thelen dan diperbaiki oleh Sharn. Dalam metode ini siswa dilibatkan sejak perencanaan baik dalam menentukan topik maupun mempelajari melalui investigasi. Dalam metode ini siswa dituntut untuk memiliki kemampuan yang baik dalam komunikasi dan proses memiliki kelompok.
Langkah-langkahnya :
a.    Seleksi topik
b.   Merencanakan kerjasama
c.    Implementasi
d.   Analisis dan sintesis
e.    Penyajian hasil akhir
f.    Evaluasi selanjutnya
4.  Metode struktural
Metode ini dikembangkan oleh Spencer Kagan, yang menekankan pada struktur – struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola – pola interaksi siswa.
Contoh teknik pembelajaran metode struktural yaitu :
a.    Mencari Pasangan ( Make a Match )
Dikembangkan oleh Larana Curran, dimana keunggulan teknik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topic dalam suasana yang menyenangkan. Langkah – langkahnya :
1) Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review ( persiapan menjelang tes atau ujian ).
2) Setiap siswa mendapat satu buah kartu.
3) Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya.
4) Siswa bisa juga bergabung dengan dua atau tiga siswa lain yang memegang kartu yang cocok.
5) Para siswa mendiskusikan penyelesaian tugas secara bersama – sama.
6) Presentasi hasil kelompok atau kuis.
b.  Bertukar Pasangan
Langkah – langkahnya :
1) Setiap siswa mendapatkan satu pasangan ( guru bisa menunjukkan pasangannya atau siswa melakukan prosedur / teknik mencari pasangan.
2) Guru memberikan tugas dan siswa mengerjakan tugas dengan pasangannya.
3) Setelah selesai setiap pasangan bergabung dengan satu pasangan yang lain.
4) Kedua pasangan tersebut bertukar pasangan. Masing – masing pasangan yang baru ini kemudian saling menanyakan dan mengukuhkan jawaban mereka.
5) Temuan baru yang didapatkan dari pertukaran pasangan kemudian dibagikan pada pasangan semula.
c.  Berkirim Salam dan Soal
Langkah – langkahnya :
1) Guru membagi siswa dalam kelompok berempat dan setiap kelompok ditugaskan untuk menuliskan beberapa pertanyaan yang akan dikirim ke kelompok lain. Guru bisa mengawasi dan membantu memilih soal-soal yang cocok.
2) Kemudian masing-masing kelompok mengirimkan satu orang utusan yang akan menyampaikan salam dan soal dari kelompoknya.
3) Setiap kelompok mengerjakan soal kiriman dari kelompok lain.
4) Setelah selesai jawaban masing – masing kelompok dicocokan dengan jawaban kelompok yang membuat soal.
d.  Bercerita Berpasangan
Teknik ini menggabungkankegiatan membaca, menulis, mendengarkan dan berbicara. Langkah – langkahnya :
a) Pengajar membagi bahan pelajaran menjadi dua bagian.
b) Pengajar memberikan pengenalan topik yang akan dibahas dalam pelajaran.
c) Siswa dipasangkan
d) Bagian pertama bahan diberikan kepada siswa yang pertama sedangkan siswa yang kedua menerima bagian yang kedua.
e) Kemudian siswa disuruh membaca atau mendengarkan bagian mereka masing-masing
f) Sambil membaca/mendengarkan siswa mencatat beberapa kata atau frase kunci yang ada dalam bagian masing-masing.
g) Siswa berusaha untuk mengarang bagian lain yang belum dibaca/didengarkan berdasarkan kata kunci.
h) Setelah selesai menulis, beberapa siswa bisa diberi kesempatan untuk membacakan hasil karangan mereka.
i) Pengajar membagiakan bagian cerita yang belum terbaca kepada masing –masing siswa.
j) Diskusi mengenai topik tersebut.
e.    Dua Tinggal Dua Tamu ( Two Stay Two Stay )
Langkah-langkahnya :
1) Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok berempat.
2) Siswa bekerjasama dalam kelompok berempat seperti biasa.
3) Setelah selesai, dua orang dari masing – masing kelompok akan meninggalkan kelompoknya dan masing – masing bertamu ke dua kelompok lain.
4) Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan informasi mereka ke tamu mereka.
5) Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan melaporkan temuan mereka dari kelompok lain.
6) Kelompok mencocokan dan membahas hasil – hasil kerja mereka.
f.    Keliling Kelompok
Langkah – langkahnya :
1) Salah satu siswa dalam masing-masing kelompok memulai dengan memberikan pandangan dan pemikirannya mengenai tugas yang sedang mereka kerjakan.
2) Siswa berikutnya juga ikut memberikan kontribusinya
3) Demikian seterusnya. Giliran bicara bisa dilaksanakan menurut arah perputaran jarum jam atau dari kiri ke kanan.
g.   Kancing Gemerincing
Langkah-langkahnya :
1) Guru menyiapkan satu kotak kecil yang berisi kancing – kancing atau benda kecil lainnya.
2) Sebelum kelompok memulai tugasnya setiap siswa dalam masing – masing kelompok mendapatkan dua atau tiga buah kancing ( jumlah kancing bergantung pada sukar tidaknya tugas yang diberikan.
3) Setiap kali seorang siswa berbicara atau mengeluarkan pendapat dia harus menyerahkan salah satu kancingnya dan meletakkan di tengah – tengah.
4) Jika kancing yang dimiliki seseorang habis, dia tidak boleh berbicara lagi sampai semua rekannya juga menghabiskan kancing mereka.
5. Think – Pair – Share
Langkah-langkah :
a.    Thinking : guru mengajukan pertanyaan atau isu terkait dengan pelajaran untuk dipikirkan oleh peserta didik.
b.   Pairing : guru meminta peserta didik berpasang – pasangan. Member kesempatan kepada pasangan – pasangan untuk berdiskusi.
c.    Sharing : hasil diskusi intersubjektif di tiap – tiap pasangan hasilnya dibicarakan dengan pasangan seluruh kelas. Dalam kegiatan ini diharapkan terjadi tanya jawab yang mendorong pada pengkonstuksian pengetahuan secara integratif.
6.  Numbered Heads Together
Langkah – langkahnya :
a.    Guru membagi kelas menjadi kelompok – kelompok kecil
b.   Guru mengajukan beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh tiap – tiap kelompok. Pada kesempatan ini tiap – tiap kelompok menyatukan kepalanya “ Heads Together” berdiskusi memikirkan jawaban.
c.    Guru memanggil paserta didik yang memiliki nomor yang sama dari tiap – tiap kelompok dan memberi kesempatan untuk menjawab.
d.   Guru mengembangkan diskusi lebih mendalam, sehingga peserta didik dapat menemukan jawaban pertanyaan itu sebagai pengetahuan yang utuh.
7.    Bamboo Dancing
Langkah – langkahnya :
a.    Pembelajaran diawali dengan pengenalan topik oleh guru.
b.   Guru membagi kelas menjadi 2 kelompok besar dan berpasangan.
c.    Membagikan tugas kepada setiap pasangan untuk dikerjakan atau dibahas ( diskusi ).
d.   Usai berdiskusi pasangan berubah dengan menggeser posisi mengikuti arah jarum jam sehingga tiap- tiap peserta didik mendapat pasangan baru dan berbagi informasi, demikian seterusnya hingga kembali kepasangan awal.
e.    Hasil diskusi tiap – tiap kelompok besar kemudian dipresentasikan kepada seluruh kelas
f.    Guru memfasilitasi terjadinya intersubjektif, dialog interaktif, Tanya jawab sehingga pengetahuan yang diperoleh dapat diobjektivikasi dan menjadi pengetahuan bersama seluruh kelas.
8.  Point – Counter – Point
Langkah – langkahnya :
a.    Guru memberi pelajaran yang terdapat isu – isu kontroversi.
b.   Membagi peserta didik ke dalam kelompok – kelompok dan posisinya berhadap – hadapan.
c.    Tiap – tiap kelompok diberi kesempatan untuk merumuskan argumentasi – argumentasi sesuai dengan perspektif yang dikembangkannya.
d.   Setelah berdiskusi maka mereka mulai berdebat menyampaikan argumentasi sesuai pandangan yang dikembangkan kelompoknya. Kemudian minta tanggapan, bantahan atau koreksi dari kelompok lain perihal isu yang sama.
e.    Buat evaluasi sehingga peserta didik dapat mencari jawaban sebagai titik temu dari argumentasi – argumentasi yang telah mereka munculkan.
9. The Power of Two
Langkah – langkahnya :
a.    Ajukan pertanyaan yang membutuhkan pemikiran yang kritis.
b.   Minta peserta didik menjawab pertanyaan yang diterimanya secara perorangan.
c.    Minta peserta didik mencari pasangan, dan masing – masing saling menjelaskan jawabannya kemudian menyusun jawaban baru yang disepakati bersama.
d.   Membandingkan jawaban – jawaban tersebut dengan pasangan lain sehingga paserta didik dapat mengembangkan pengetahuan yang lebih integrative.
e.    Buat rumusan – rumusan rangkuman sebagai jawaban – jawaban atas pertanyaan yang telah diajukan. Rumusan tersebut merupakan konstruksi atas keseluruhan pengetahuan yang telah dikembangkan selama diskusi.
10.   Listening Team
Langkah-langkahnya :
a.    Diawali dengan pemaparan meteri pembelajaran oleh guru.
b.   Guru membagi kelas menjadi kelompok – kelompok dan setiap kelompok memiliki peran masing – masing, misalnya:
Kelompok 1 : kelompok penanya
Kelompok 2 : kelompok penjawab dengan perspektif tertentu
Kelompok 3 : kelompok penjawab dengan perspektif yang berbeda dari kelompok 2
Kelompok 4 : kelompok yang bertugas mereview dan membuat kesimpulan dari hasil diskusi.
c.    Munculkan diskusi yang aktif karena adanya perbedaan pemikiran sehingga dikusi menjadi berkualitas.
d.   Penyampaian berbagai kata kunci atau konsep yang telah dikembangkan oleh peserta didik dalam diskusi.
J.    METODE-METODE PENDUKUNG PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF
1. PQ4R
Pengalaman awal dapat dibangun melalui aktivitas membaca sehingga peserta didik akan memiliki stock knowledge. Langkah – langkahnya :
a)    P ( Preview ) yaitu peserta didik menemukan ide – ide pokok yang dikembangkan dalam bahan bacaan.
b)   Q ( Question ) yaitu peserta didik merumuskan pertanyaan – pertanyaan untuk dirinya sendiri yang diarahkan pada pembentukan pengetahuan deklaratif, structural dan pengetahuan procedural.
c)    R ( Read ) yaitu peserta didik membaca secara detail dari bahan bacaaan yang dipelajarinya sehingga paerta didik diarahkan mencari jawaban terhadap semua pertanyaan yang dirumuskannya.
d)   R ( Reflect ) yaitu peserta didik memahami apa yang dibacanya.
e)    R ( Recite ) yaitu peserta didik merenungkan kembali apa yang dibacanya dan mampu merumuskan konsep – konsep, menjelaskan hubungan antar konsep dan mengartikulasikan pokok – pokok penting yang telah dibacanya.
f)    R ( Review ) yaitu peserta didik merangkum atau merumuskan intisari dari bahan yang telah dibacanya. Peserta didik mampu merumuskan kesimpulan sebagai jawaban dari pertanyaan – pertanyaan yang telah diajukannya.
2.     Guided Note Taking
Merupakan metode catatan terbimbing yang dikembangkan agar metode ceramah yang dibawakan guru mendapat perhatian siswa. Langkah – langkahnya :
a)    Memberikan bahan ajar misalnya yang berupa handout dari materi ajar yang disampaikan dengan metode ceramah kepada peserta didik.
b)   Mengosongi sebagian poin – poin yang penting sehingga terdapat bagian – bagian yang kosong dalam handout tersebut
c)    Menjelaskan kepada peserta didik bahwa bagian yang kosong dalam handout memang sengaja dibuat agar peserta didik tetap berkonsentrasi mengikuti pelajaran.
d)   Selama ceramah berlangsung peserta didik diminta untuk mengisi bagian yang kosong tersebut.
e)    Setelah penyampaian materi selesai, minta peserta didik membacakan handoutnya.
3. Snowball Drilling
Metode ini dikembangkan untuk menguatkan pengetahuan yang diperoleh peserta didik dari membaca bahan – bahan bacaan. Peran guru adalah mempersiapkan paket soal – soal pilihan ganda dan menggelindingkan bola salju berupa soal latihan dengan cara menunjuk atau mengundi. Langkah – langkahnya :
a)    Peserta didik di tunjuk arau diundi satu persatu untuk menjawab pertanyaan yang diberikan guru.
b)   Jika peserta didik pertama berhasil menjawab maka paserta didik tersebut berhak menunjuk teman yang lainya untuk menjawab soal berikutnya. Tetapi jika peserta tersebut gagal manjawab pertanyaan pertama maka  dia harus menjawab pertanyaan berikutnya hingga berhasil menjawab.
c)    Diakhir pelajaran guru memberikan ulasan terhadap hal yang telah dipelajari peserta didik.
4. Concept Mapping
Langkah – langkahnya :
a)    Guru mempersiapkan potongan – potongan kartu yang bertuliskan konsep – konsep utama.
b)   Guru membagikan potongan – potongan kartu yang bertuliskan konsep – konsep utama kepada peserta didik.
c)    Memberi keempatan kepada peserta didik untuk mencoba membuat peta yang menggambarkan hubungan antar konsep. Dan membuat garis hubung serta menuliskan kata atau kalimat yang menjelaskan hubungan antar konsep.
d)   Kumpulkan hasil pekerjaan peserta didik dan bandingkan dengan konsep yang benar dan dibahas satu persatu.
e)    Ajak seluruh kelas untuk melakukan koreksi atau evaluasi dan rumukan beberapa kesimpulan terhadap materi yang dipelajari.
5. Giving Question and Getting Answer
Dilakukan untuk melatih peserta didik memiliki kemampuan dan keterampilan bertanya dan menjawab pertanyaan.
Langkah – langkahnya :
a)    Bagikan 2 potongan kertas pada peserta didik, kemudian minta kepada peserta didik untuk menuliskan dikartu itu (1) kartu menjawab, (2) kartu bertanya.
b)   Ajukan pertanyaan baik dari peserta didik maupun guru tulis pada kartu bertanya.
c)    Minta kepada peserta didik untuk memberi jawab dan menuliskannya pada kartu menjawab dan serahkan pada guru.
d)   Jika sampai akhir masih ada peserta didik yang memegang 2 kartu maka minta mereka untuk membuat resume atas proes tanya jawab yang sudah berlangsung.
6.Question Student Have
Dilakukan untuk melatih peserta didik memiliki kemampuan bertanya. Langkah – langkahnya :
a)    Membagi kelas menjadi 4 kelompok.
b)   Bagikan kartu kosong kepada setiap peserta didik dalam setiap kelompok.
c)    Minta peserta didik menuliskan pertanyaan yang mereka miliki tentang hal – hal yang dipelajari.
d)   Putar kartu searah jarum jam sehingga ketika setiap kartu diedarkan pada anggota kelompok, anggota tersebut harus membacanya dan memberikan tanda (v) jika pertanyaan terebut dianggap penting. Putar hingga ampai kapada pemiliknya kembali.
e)    Periksa pertanyaan mana yang memperoleh suara yang banyak dan bandingkan dengan perolehan anggota lain. Pertanyaan yang mendapat suara terbanyak menjadi milik kelompok.
f)    Setiap kelompok melaporkan pertanyaan tersebut secara tertulis dan guru memeriksa. Setelah diseleksi pertanyaan dikembalikan kepada peserta didik untuk dijawab secara mandiri maupun kelompok.
7. Talking Stick
Metode ini mendorong peserta didik untuk berani mengemukakan pendapat. Langkah – langkahnya :
a)    Guru menjelaskan materi pokok yang akan dipelajari.
b)   Peserta didik diberi kesempatan untuk membaca dan mempelajari materi tersebut.
c)    Guru meminta kepada peserta didik untuk menutup bukunya. Kemudian guru mengambil tongkat dan diberikan kepada salah satu peserta didik. Peserta didik yang mendapat tongkat tersebut harus menjawab pertanyaan yang diberikan guru, dan demikian seterusnya.
d)   Guru member keempatan kepada peserta didik untuk melakukan refleksi terhadap materi yang telah dipelajari dan guru member ulasan terhadap seluruh jawaban yang diberikan peserta didik dan selanjutnya bersama – sama merumuskan kesimpulan.
8. Everyone is Teacher Here
Metode ini merupakan cara yang tepat untuk mendapatkan partisipasi kelas secara keseluruhan maupun individual dan member kesempatan kepada siswa untuk berperan sebagai guru bagi teman – temannya. Langkah – langkahnya :
a)    Bagikan kertas/ kartu indeks kepada seluruh peserta didik.
b)   Setiap peserta didik diminta menuliskan satu pertanyaan mengenai meteri pelajaran yang sedang dipelajari di kelas.
c)    Kumpulkan kertas dan acak kemudian bagikan kepada setiap peserta didik dan pastikan tidak ada yang mendapatkan soalnya sendiri.
d)   Minta kepada peserta didik untuk membaca pertanyaan tersebut dalam hati dan minta untuk memikirkan jawabannya.
e)    Minta kepada peserta didik untuk membaca pertanyaan tersebut dan menjawabnya.
f)    Setelah dijawab, minta kepada peserta didik lainnya untuk menambahkan jawabannya.
9. Tebak Pelajaran
Dikembangkan untuk menarik pehatian siswa selama mengikuti pembelajaran. Langkah – langkahnya :
a)    Tulislah atau tayangkan melalui LCD subject matter dari pelajaran yang akan disampaikan.
b)   Mintalah kepada siswa untuk menuliskan kata – kata kunci apa saja yang diprediksikan muncul dari materi pelajaran yang akan disampaikan oleh guru.
c)    Sampaikan meteri pembelajaran secara interaktif.
d)   Selama proses pembelajaran siswa diminta menandai hasil prediksi mereka yang sesuai dengan materi yang disampaikan oleh guru.
e)    Diakhir pelajaran tanyakan berapa jumlah tebakan mereka yang benar.
K. KEUNGGULAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF
Pembelajaran kooperatif memiliki keunggulan – keunggulan dalam pembelajarannya, antara lain :
  1. Dengan pembelajaran kooperatif maka setiap anggota dapat saling melengkapi dan membantu dalam menyelesaikan setiap materi yang diterima sehingga setiap siswa tidak akan merasa terbebani sendiri apabila tidak dapat mengerjakan suatu tugas tertentu.
  2. Karena keberagaman anggota kelompok maka memiliki pemikiran yang berbeda – beda sehingga pemikirannya menjadi luas dan mampu melihat dari sudut pandang lain untuk melengkapi jawaban yang lain.
  3. Pembelajaran kooperatif cocok untuk menyelesaikan masalah – masalah yang membutuhkan pemikiran bersama.
  4. Dalam pembelajaran kooperatif para paserta didik dapat lebih mudah memahami materi yang disampaikan karena bekerja sama dengan teman – temannya.
  5. Dalam pembelajaran kooperatif memupuk rasa pertemanan dan solidaritas sehingga diantara anggotanya akan terjadi hubungan yang positif.
L.   KELEMAHAN PEMBELAAJARAN KOOPERATIF
Pembelajaran kooperatif selain memiliki keunggulan juga memiliki kelemahan – kelemahan antara lain :
  1. Dalam pembelajaran kooperatif apabila kelompoknya tidak dapat bekerjasama dengan baik dan kompak maka akan terjadi perselisihan karena adanya berbagai perbedaan yang dapat menyebabkan perselisihan.
  2. Terkadang ada anggota yang lebih mendominasi kelompok dan ada yang hanya diam, sehingga pembagian tugas tidak merata.
  3. Dalam pembelajarannya memerlukan waktu yang cukup lama sebab harus saling berdiskusi bersama teman – teman lain untuk menyatukan pendapat dan pandangan yang dianggap benar.
  4. Karena sebagian pengetahuan didapat dari teman dan yang menerangkan teman maka terkadang agak sulit dimengerti, sebab pengetahuan terbatas.
PENUTUP
Dari uraian pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang menekankan pada aspek kerjasama diantara para anggotanya dimana di dalamnya ada ketergantungan yang positif, interaksi, akuntabilitas serta ketrampilan individu dalam memproses kelompoknya. Tujuan pembelajaran ini juga disesuaikan bahwa tujuan pembelajaran adalah untuk memperoleh ilmu dan mendidik anak didik, maka tujuan pembelajaran kooperatif yaitu meningkatkan hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keragaman dan pengembangan ketrampilan social. Dalam pembelajaran kooperatif maka setiap anggota yang beragam ikut berpartisipasi secara aktif sesuai dengan setiap pandangan yang mereka miliki masing – masing. Banyak model – model pembelajaran kooperatif namun secara umum proses pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut :
  1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan mempersiapkan peserta didik siap belajar.
  2.  Mempresentasikan informasi kepada paserta didik secara verbal.
  3.  Memberikan penjelasan kepada peserta didik tentang tata cara pembentukan tim belajar dan membantu kelompok melakukan transisi yang efisien.
  4. Membantu tim- tim belajar selama peserta didik mengerjakan tugasnya.
  5. Menguji pengetahuan peserta didik mengenai berbagai materi pembelajaran atau kelompok- kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
  6. Mempersiapkan cara untuk mengakui usaha dan prestasi individu maupun kelompok.
Setiap segala sesuatu pasti memiliki kelebihan dan kelemahan begitu pula dengan pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif mengajarkan bagaimana saling bekerjasama dalam menyelesaikan suatu masalah secara berkelompok melalui diskusi dengan teman lain yang memiliki pandangan dan pemikiran yang berbeda – beda, melalui hal tersebut maka setiap anggota akan memiliki pandangan yang lebih luas karena saling berbagi pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan sehingga melalui semua itu kelompok dapat meyelesaikan tugas yang diberikan melalui pemikiran bersama yang dianggap benar dan baik. Tetapi karena adanya keberagaman tersebut juga dapat menimbulkan adanya perselisihan dan pertentangan akibat adanya pemikiran yang berbeda sehingga dalam memproses memerlukan waktu yang cukup lama sehingga agar pertentangan tersebut tidak terjadi dibutuhkan kekompakan diantara anggotanya.
Pembelajaran kooperatif ini sangat berguna dalam proses pembelajaran yang dilakukan dalam pendidikan dimana pembelajaran kooperatif memberikan cara yang berbeda dalam pengajaran yaitu dengan bekerjasama dengan anggota kelompoknya dan memecahkan persoalan  bersama dimana akan membantu para peserta didik saling bertukar pengetahuan, pemikiran dan pengalaman mereka untuk memperoleh sesuatu yang benar dan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Suprijono, Agus. 2006 . Cooperative Learning ( Teori & Aplikasi PAIKEM ).
Drs. Sugiyanto. Modul PLPG
www. Wikipedia. Com
http://www.google.com
https://kurniawanbudi04.wordpress.com/2013/05/27/model-pembelajaran-kooperatif-cooperative-learning/

Sabtu, 09 September 2017

PEMBELAJARAN KOLABORATIF

Pembelajaran Kolaboratif versus Kooperatif

Dalam sebuah artikelnya Ted Panitz (1996) menjelaskan bahwa pembelajaran kolaboratif adalah suatu filsafat personal, bukan sekadar teknik pembelajaran di kelas. Menurutnya, kolaborasi adalah filsafat interaksi dan gaya hidup yang menjadikan kerjasama sebagai suatu struktur interaksi yang dirancang sedemikian rupa guna memudahkan usaha kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Pada segala situasi, ketika sejumlah orang berada dalam suatu kelompok, kolaborasi merupakan suatu cara untuk berhubungan dengan saling menghormati dan menghargai kemampuan dan sumbangan setiap anggota kelompok. Di dalamnya terdapat pembagian kewenangan dan penerimaan tanggung jawab di antara para anggota kelompok untuk melaksanakan tindakan kelompok. Pokok pikiran yang mendasari pembelajaran kolaboratif adalah konsensus yang terbina melalui kerjasama di antara anggota kelompok sebagai lawan dari kompetisi yang mengutamakan keunggulan individu. Para praktisi pembelajaran kolaboratif memanfaatkan filsafat ini di kelas, dalam rapat-rapat komite, dalam berbagai komunitas, dalam keluarga dan secara luas sebagai cara hidup dan dalam berhubungan dengan sesama.
John Myers (1991) merujuk pada kamus untuk menjelaskan definisi collaboration yang berasal dari akar kata Latin dengan makna yang menitikberatkan proses kerjasama sedangkan kata cooperation berfokus pada produk kerjasama itu. Selanjutnya Myers menunjukkan beberapa perbedaan di antara kedua konsep itu sebagai berikut:
Supporters of co-operative learning tend to be more teacher-centered, for example when forming heterogeneous groups, structuring positive interdependence, and teaching co-operative skills. Collaborative learning advocates distrust structure and allow students more say if forming friendship and interest groups. Student talk is stressed as a means for working things out. Discovery and contextural approaches are used to teach interpersonal skills.
Such differences can lead to disagreements…. I contend the dispute is not about research, but more about the morality of what should happen in the schools. Beliefs as to what should happen in the schools can be viewed as a continuum of orientations toward curriculum from “transmission” to “transaction” to “transmission”. At one end is the transmission position. As the name suggests, the aim of this orientation is to transmit knowledge to students in the form of facts, skills and values. The transformation position at the other end of the continuum stresses personal and social change in which the person is said to be interrelated with the environment rather than having control over it. The aim of this orientation is self-actualization, personal or organizational change.
Bersandar pada pandangan tersebut, kecenderungan memilih menggunakan konsep kolaboratif dibandingkan kooperatif dapat dimaklumi. Kendati demikian, penggunaan kedua konsep tersebut secara komplementer tampaknya sulit dihindari. Slavin (1991:73), misalnya, mendefinisikan “Cooperative learning methods share the idea that students work together to learn and are responsible for one another’s learning as well as their own.”
Atau lebih jelas lagi definisi yang dikemukakan Cohen (1994:3) sebagai berikut: “Cooperative learning will be defined as students working together in a group small enough that everyone can participate on a collective task that has been clearly assigned. Moreover, students are expected to carry out their task without direct and immediate supervision of the teacher.”
Sementara itu Kagan (1990) mengemukakan definisi yang sangat baik tentang pembelajaran kooperatif dengan melihat struktur umum yang dapat disesuaikan dengan berbagai situasi. Definisinya itu meliputi pandangan para spesialis pembelajaran kooperatif seperti Johnsons, Slavin, Cooper, Graves dan Graves, Millis, etc. sebagai berikut:
The structural approach to cooperative learning is based on the creation, analysis and systematic application of structures, or content-free ways of organizing social inter-action in the classroom. Structures usually involve a series of steps, with proscribed behavior at each step. An important cornerstone of the approach is the distinction between “structures” and “activities”.
To illustrate, teachers can design many excellent cooperative activities, such as making a team mural or a quilt. Such activities almost always have a specific content-bound objective and thus cannot be used to deliver a range of academic content. Structures may be used repeatedly with almost any subject matter, at a wide range of grade levels and at various points in a lesson plan.”
Pembelajaran kooperatif dipahami sebagai suatu rangkaian proses yang membantu para siswa dalam berinteraksi bersama untuk mewujudkan tujuan spesifik yang telah disepakati. Dalam hal kewenangan guru, pembelajaran kooperatif lebih bersifat direktif jika dibandingkan dengan pembelajaran kolaboratif karena kontrol secara ketat yang dilakukan oleh guru: “While there are many mechanisms for group analysis and introspection the fundamental approach is teacher centered whereas collaborative learning is more student centered.” (Panitz:1996).
Senada dengan hal itu, Rocky Rockwood (1995) membagikan pengalamannya bahwa pembelajaran kooperatif sangat sesuai untuk pendekatan penguasaan pengetahuan/ keterampilan dasar. Baru ketika para siswa sudah menjadi semakin terampil, mereka siap untuk pembelajaran kolaboratif, siap untuk berdiskusi dan menilai. Pada bagian lain artikelnya tersebut, ia juga menjelaskan perbandingan antara pembelajaran kolaboratif dan kooperatif dengan terlebih dulu memahami kesamaan keduanya, yakni: 1) menggunakan kelompok; 2) memberikan tugas yang spesifik; 3) saling berbagi di antara kelompok; dan 4) membandingkan prosedur dan kesimpulan dalam kelompok pleno (seluruh kelas).
Sedangkan perbedaan yang paling nyata di antara keduanya adalah kenyataan bahwa pembelajaran kooperatif berkaitan erat dengan pengetahuan tradisional (kanonik) sementara pembelajaran kolaboratif terkait dengan gerakan konstruktivis sosial yang menegaskan bahwa pengetahuan dan otoritas pengetahuan telah berubah secara dramatis pada akhir abad yang lalu. Akibatnya adalah terjadi transisi dari pemahaman pengetahuan secara foundational (kognitif) ke nonfoundational ground sebagaimana diungkapkan oleh Bruffe (1993): “We understand knowledge to be a social construct and learning a social process”. Selanjutnya Rockwood menjelaskan:
In the ideal collaborative environment, the authority for testing and determining the appropriateness of the group product rests with, first, the small group, second, the plenary group (the whole class) and finally (but always understood to be subject to challenge and revision) the requisite knowledge community (i.e. the discipline: geography, history, biology etc.) The concept of non-foundational knowledge challenges not only the product acquired, but also the process employed in the acquisition of foundational knowledge.
Most importantly, in cooperative, the authority remains with the instructor, who retains ownership of the task, which involves either a closed or a closable (that is to say foundational) problem (the instructor knows or can predict the answer). In collaborative, the instructor – once the task is set – transfers all authority to the group. In the ideal, the group’s task is always open ended.
Seen from this perspective, cooperative does not empower students. It employs them to serve the instructor’s ends and produces a “right” or acceptable answer. Collaborative does truly empower and braves all the risks of empowerment (for example, having the group or class agree to an embarrassingly simplistic or unconvincing position or produce a solution in conflict with the instructor’s).
Every person, Brufee holds, belongs to several “interpretative or knowledge communities” that share vocabularies, points of view, histories, values, conventions and interests. The job of the instructor is to help students learn to negotiate the boundaries between the communities they already belong to and the community represented by the teacher’s academic discipline, which the students want to join. Every knowledge community has a core of foundational knowledge that its members consider as given (but not necessarily absolute). To function independently within a knowledge community, the fledgling scholar must master enough material to become conversant with the community.
Sehubungan dengan hakikat pendidikan nilai, ada asumsi bahwa penerapan pembelajaran kolaboratif dipandang lebih sesuai dibandingkan dengan pembelajaran kooperatif. Pemilihan ini juga didasarkan pada pendapat Myers (1991) yang mengusulkan orientasi “transaction” sebagai kompromi di antara tarik-menarik kedua metodologi tersebut.
This orientation views education as a dialogue between the student and the curriculum. Students are viewed as problem solvers. Problem solving and inquiry approaches stressing cognitive skills and the ideas of Vygotsky, Piaget, Kohlberg and Bruner are linked to transaction. This perspective views teaching as a “conversation” in which teachers and students learn together through a process of negotiation with the curriculum to develop a shared view of the world.

Definisi dan Pengertian Pembelajaran Kolaboratif

Dari berbagai keterangan tersebut, dapat direkonstruksi unsur-unsur pembelajaran kolaboratif sebagai berikut: suatu filsafat pengajaran, bukan serangkaian teknik untuk mengurangi tugas guru dan mengalihkan tugas-tugasnya kepada para siswa. Hal terakhir ini perlu ditekankan karena mungkin begitulah kesan banyak orang tentang pembelajaran kolaboratif. Mereka merasa bahwa tidak ada yang dapat menandingi pembelajaran konvensional, yang menempatkan guru sebagai satu-satunya pemegang otoritas pembelajaran di kelasnya.
Meskipun demikian, tidak ada maksud untuk meremehkan seluruh metode pembelajaran konvensional (tradisional). Namun, pembelajaran konvensional kurang efektif untuk menumbuhkembangkan minat belajar siswa terhadap bahan-bahan pembelajaran. Mungkin saja para siswa mempelajari lebih banyak materi pelajaran dalam pembelajaran konvensional, tetapi mungkin pula mereka akan segera melupakannya jika tidak terinternalisasi dalam perubahan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang dipelajari. Padahal, Gagne (1992:6) mengartikan pembelajaran bertolak dari hakikat belajar sebagai berikut:
Changes in behavior of human beings and in their capabilities for particular behaviors take place following their experience within certain indentifiable situations. These situations stimulate the individual in such a way as to bring about the change in behavior. The process that makes such change happen is called learning, and the situations that sets the process into effect is called a learning situation.
Dengan demikian, pembelajaran kolaboratif dapat didefinisikan sebagai filsafat pembelajaran yang memudahkan para siswa bekerjasama, saling membina, belajar dan berubah bersama, serta maju bersama pula. Inilah filsafat yang dibutuhkan dunia global saat ini. Bila orang-orang yang berbeda dapat belajar untuk bekerjasama di dalam kelas, di kemudian hari mereka lebih dapat diharapkan untuk menjadi warganegara yang lebih baik bagi bangsa dan negaranya, bahkan bagi seluruh dunia. Akan lebih mudah bagi mereka untuk berinteraksi secara positif dengan orang-orang yang berbeda pola pikirnya, bukan hanya dalam skala lokal, melainkan juga dalam skala nasional bahkan mondial.
Jelaslah bahwa pembelajaran kolaboratif lebih daripada sekadar kooperatif. Jika pembelajaran kooperatif merupakan teknik untuk mencapai hasil tertentu secara lebih cepat, lebih baik, setiap orang mengerjakan bagian yang lebih sedikit dibandingkan jika semua dikerjakannya sendiri, maka pembelajaran kolaboratif mencakup keseluruhan proses pembelajaran, siswa saling mengajar sesamanya. Bahkan bukan tidak mungkin, ada kalanya siswa mengajar gurunya juga.
Pembelajaran kolaboratif memudahkan para siswa belajar dan bekerja bersama, saling menyumbangkan pemikiran dan bertanggung jawab terhadap pencapaian hasil belajar secara kelompok maupun individu. Berbeda dengan pembelajaran konvensional, tekanan utama pembelajaran kolaboratif maupun kooperatif adalah “belajar bersama”.
Tetapi, dalam perspektif ini tidak semua “belajar bersama” dapat digolongkan sebagai belajar kooperatif, apalagi kolaboratif. Bila para siswa di dalam suatu kelompok tidak saling menyumbangkan pikiran dan bertanggung jawab terhadap pencapaian hasil belajar secara kelompok maupun individu, kelompok itu tak dapat digolongkan sebagai kelompok pembelajaran kolaboratif. Kelompok itu mungkin merupakan kelompok pembelajaran kooperatif atau bahkan sekadar belajar bersama-sama.
Inti pembelajaran kolaboratif adalah bahwa para siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil. Antaranggota kelompok saling belajar dan membelajarkan untuk mencapai tujuan bersama. Keberhasilan kelompok adalah keberhasilan individu dan demikian pula sebaliknya.

Pembelajaran Kolaboratif versus Konvensional

Pembelajaran kolaboratif dilandasi oleh pandangan konstruktivistik yang berpegang pada premis bahwa pengetahuan diperoleh sebagai akibat dari proses konstruksi yang berkesinambungan di dalam diri setiap pebelajar. Kaum konstruktivis menekankan belajar bukan dalam hubungannya dengan otoritas eksternal, melainkan konstruksi pengetahuan oleh pebelajar sendiri. Pendekatan konstruktivistik dalam belajar mengajar sesungguhnya didasarkan pada kombinasi dari serangkaian riset dalam psikologi kognitif dan psikologi sosial, sebagaimana teknik-teknik pengubahan perilaku didasarkan pada teori pengandaian dalam psikologi tingkah laku. Premis dasarnya ialah bahwa seorang pebelajar mandiri harus secara aktif membentuk pengetahuan dan keterampilan-keterampilannya sendiri dan bahwa informasi yang ada di dalam konstruksi yang terbentuk secara internal itu melebihi yang tersaji di lingkungan eksternal. Dengan demikian, pendekatan konstruktivistik menekankan pembentukan perilaku internal yang dengan sendirinya memengaruhi perilaku eksternal lebih daripada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Menurut filsafat konstruktivisme, pengetahuan merupakan bentukan siswa yang sedang belajar. Para konstruktivis radikal yang dipelopori Ernst von Glassersfeld (1995) bahkan menyatakan bahwa “pengetahuan” tidak bisa dipisahkan dari “mengetahui”. Dengan perkataan lain, konstruktivisme dapat dianggap sebagai proses belajar yang membentuk pengetahuan lewat hal-hal yang sudah diketahui sebelumnya. Lebih lanjut, kaum konstruktivis sosial percaya bahwa interaksi sosial sangat penting bagi setiap individu dalam membentuk pengetahuannya. Demikianlah siswa membentuk pengetahuannya, yaitu lewat interaksi dengan bahan yang dipelajari atau pengalaman baru melalui indranya dan hal itu dapat dilakukan secara personal maupun sosial.
Glassersfeld mengutip pandangan Tobin dan Tippins (1993) yang menggunakan istilah konstruktivisme kritis (critical constructivism) untuk memasukkan aturan pribadi (self-regulation) yang mewujudnyatakan kepercayaan-kepercayaan psikologis, etis, moral, dan politis ke dalam bentukan pengetahuan sedemikian hingga diperoleh pengetahuan komprehensif yang tak pernah berhenti membina dirinya sendiri. Sesungguhnya pandangan ini bukanlah hal baru, melainkan merupakan pengembangan diktum Giambatista Vico, pelopor filsafat konstruktivisme pada awal abad ke-18: “Verum ipsum factum” (Kebenaran menyatakan dirinya sendiri), maupun adagium terkenal Rene Descartes: “Cogito, ergo sum” (Aku berpikir, maka aku ada) atau ucapan senada oleh George Berkeley: “Esse est percipi” (Ada adalah karena persepsi).
Glassersfeld tidak percaya bahwa kompetensi pengetahuan dapat dicapai hanya dengan sistem drill (pembiasaan dan kiat instan untuk menjawab soal dengan benar, meskipun tidak cukup dimengerti). “Only the student who has built up such a conceptual repertoire has a chance of success when faced with novel problem. Concepts cannot simply be transferred from teachers to students – they have to be conceived.” Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja oleh guru kepada siswa apabila siswa tidak terlibat aktif membentuknya dalam dirinya sendiri.
Glassersfeld juga mengutip J. Bruner (1990) dan G. Kearsley (1999) yang mengajukan tiga prinsip pembelajaran konstruktivistik sebagai berikut:
  1. Instruksi harus berkaitan dengan pengalaman dan konteks yang mendorong siswa untuk mau dan mampu belajar (readines);
  2. Instruksi harus disusun sedemikian rupa hingga dapat dengan mudah dimengerti siswa (spiral organization);
  3. Instruksi hendaknya didesain untuk memfasilitasi ekstrapolasi dan/ atau menguruk jurang pemisah (going beyond the information given).
Para pendukung pendekatan konstruktivistik menganjurkan agar para pendidik pertama-tama menyadari pengetahuan dan pengalaman-pengalaman yang sudah dimiliki siswa dalam proses pembelajaran sebelumnya. Kurikulum yang kemudian disusun hendaknya memungkinkan siswa untuk memperluas dan membentuk pengetahuan dan pengalaman mereka itu lewat proses menghubungkan pengetahuan dan pengalaman itu dengan hal-hal baru yang akan dipelajari.
Pandangan konstruktivistik berbeda dengan pendekatan behavioristik yang terlebih dulu menentukan pengetahuan atau keterampilan apa yang perlu dimiliki siswa dan kemudian membentuk kurikulum yang dianggap sesuai untuk pengembangan diri mereka. Padahal, jika mulai dengan menentukan pengetahuan yang harus diperoleh siswa sebelum kita memastikan hasil akhir yang dikehendaki, kita akan membatasi siswa yang tidak memiliki persiapan yang memadai. Siswa yang demikian mungkin saja membentuk keterampilan berpikir yang kemudian mencukupi, tetapi ia akan menghadapi jurang yang memisahkan pengetahuannya dengan keterampilan-keterampilan yang dituntut.
Di sisi lain, jika kita hanya berfokus pada tujuan-tujuan akhir yang diharapkan, khususnya tujuan-tujuan pengetahuan, dengan mengabaikan pengetahuan maupun latar belakang siswa, kita menghadapi risiko pengembangan pengetahuan dan keterampilan yang tidak berarti apa-apa dan karenanya akan mudah terlupakan.
Pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran dijelaskan dengan baik oleh Merril (1992:102): “There is no shared reality, learning is a personal interpretation of the world … meaning is a negotiated from multiple perspectives.”
Sedangkan Cunningham (1992:157) memaparkan epistemologi pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran sebagai berikut:
At the heart of constructivism is the notion that knowledge is constructed, which in the present instance means that our theoretical views are personal creations, embedded in a social context, within a social community that accepts the assumptions underlying the perspective.
Duffy dan Jonassen (1992) serta Garrison (1993) menyimpulkan: (a) realitas dapat dibentuk melalui banyak cara; (b) setiap konsep dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda; (c) tidak ada jawaban tunggal tentang kebenaran; (d) bentukan pengetahuan individual bergantung pada pengetahuan dan pengalaman sebelumnya.
Pengetahuan adalah interpretasi personal dan tak dapat dialihkan ke dalam pikiran seorang individu jika ia sendiri tidak membentuk pengetahuannya melalui komunikasi. Siswa menjadi partisipan aktif dalam proses pembelajaran seumur hidup yang akan memampukannya sebagai pemecah masalah karena ia dapat melihat suatu masalah melalui berbagai sudut pandang.
Belajar tentang dunia tidak dilakukan dalam vakum sosial. Pembelajaran bukan bersifat student’s “correct” replication dari perilaku guru, melainkan student’s succesful organization of his or her own experiences (Driver & Leach. 1993: 104). Sekolah dapat dipandang sebagai “masyarakat mini”, tempat para siswa belajar mengaktualisasikan diri dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya. Lebih kecil lagi, dalam kegiatan belajar mengajar, lingkungan kelas pun merupakan setting sosial untuk mendukung konstruksi pengetahuan, sebagaimana dikatakan Waras (1997): “Lingkungan belajar juga mencakup organisasi sosial dan interaksi antara siswa-guru dan siswa-siswa.”
Mengutip pandangan Driver dan Leach (1993) serta Connor (1990), Waras (1997) merinci karakteristik lingkungan kelas yang berperspektif konstruktivis antara lain sebagai berikut:
  1. siswa tidak dipandang secara pasif, tetapi aktif untuk belajar mereka sendiri – mereka membawa konsepsi mereka ke dalam situasi belajar;
  2. belajar mengutamakan proses aktif siswa mengkonstruksi makna, dan acapkali dengan melalui negosiasi interpersonal;
  3. pengetahuan tidak bersifat “out there”, tetapi terkonstruk secara personal dan secara sosial;
  4. guru juga membawa konsepsi mereka ke dalam situasi belajar, tidak hanya dalam hal pengetahuan mereka, tetapi juga pandangan mereka terhadap belajar dan mengajar yang dapat memengaruhi cara mereka berinteraksi dengan siswa di dalam kelas;
  5. pengajaran bukan mentransmisi pengetahuan tetapi mencakup organisasi situasi di dalam kelas dan desain tugas yang memudahkan siswa menemukan makna; dan
  6. kurikulum bukan sesuatu yang perlu dipelajari tetapi program-program tugas belajar, bahan-bahan, sumber-sumber lain, dan wacana dari mana siswa mengkonstruk pengetahuan mereka.
Demikianlah dalam pembelajaran kolaboratif diciptakan lingkungan sosial yang kondusif untuk terlaksananya interaksi yang memadukan segenap kemauan dan kemampuan belajar siswa. Lingkungan yang dibentuk berupa kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari empat atau lima siswa pada setiap kelas dengan anggota-anggota kelompok yang sedapat mungkin tidak bersifat homogen. Artinya, anggota-anggota suatu kelompok diupayakan terdiri dari siswa laki-laki dan perempuan, siswa yang relatif aktif dan yang kurang aktif, siswa yang relatif pintar dan yang kurang pintar. Dengan komposisi sedemikian itu dapat diharapkan terlaksananya peran tutor beserta tutee antarteman dalam setiap kelompok.
Perbedaan yang bersifat mendasar antara metode pembelajaran kolaboratif dan konvensional dapat ditabulasikan sebagai berikut:
Perbedaan Pembelajaran Kolaboratif dan Konvensional
Pembelajaran Kolaboratif
Pembelajaran Konvensional
Siswa belajar secara berkelompok
Siswa belajar secara klasikal
Antarsiswa berkolaborasi (bekerjasama)
Antarsiswa berkompetisi (bersaing)
Keberhasilan individu siswa bergantung pula pada keberhasilan teman, terutama dalam kelompoknya Keberhasilan individu siswa tidak bergantung pada keberhasilan teman-temannya
Filsafat yang mendasari pengetahuan diperoleh siswa melalui interaksi antara pancaindranya dengan lingkungan kelompoknya Filsafat yang mendasari pengetahuan diperoleh melalui transfer/ transmisi dari guru kepada siswa
Menurut Johnsons (1974), sekurang-kurangnya terdapat lima unsur dasar agar dalam suatu kelompok terjadi pembelajaran kooperatif/ kolaboratif, yaitu:
  1. Saling ketergantungan positif. Dalam pembelajaran ini setiap siswa harus merasa bahwa ia bergantung secara positif dan terikat dengan antarsesama anggota kelompoknya dengan tanggung jawab: (1) menguasai bahan pelajaran; dan (2) memastikan bahwa semua anggota kelompoknya pun menguasainya. Mereka merasa tidak akan sukses bila siswa lain juga tidak sukses.
  2. Interaksi langsung antarsiswa. Hasil belajar yang terbaik dapat diperoleh dengan adanya komunikasi verbal antarsiswa yang didukung oleh saling ketergantungan positif. Siswa harus saling berhadapan dan saling membantu dalam pencapaian tujuan belajar.
  3. Pertanggungajawaban individu. Agar dalam suatu kelompok siswa dapat menyumbang, mendukung dan membantu satu sama lain, setiap siswa dituntut harus menguasai materi yang dijadikan pokok bahasan. Dengan demikian setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk mempelajari pokok bahasan dan bertanggung jawab pula terhadap hasil belajar kelompok.
  4. Keterampilan berkolaborasi. Keterampilan sosial siswa sangat penting dalam pembelajaran. Siswa dituntut mempunyai keterampilan berkolaborasi, sehingga dalam kelompok tercipta interaksi yang dinamis untuk saling belajar dan membelajarkan sebagai bagian dari proses belajar kolaboratif.
  5. Keefektifan proses kelompok. Siswa memproses keefektifan kelompok belajarnya dengan cara menjelaskan tindakan mana yang dapat menyumbang belajar dan mana yang tidak serta membuat keputusan-keputusan tindakan yang dapat dilanjutkan atau yang perlu diubah.

Macam-macam Pembelajaran Kolaboratif

Ada banyak macam pembelajaran kolaboratif yang pernah dikembangkan oleh para ahli maupun praktisi pendidikan, teristimewa oleh para ahli Student Team Learning pada John Hopkins University. Tetapi hanya sekitar sepuluh macam yang mendapatkan perhatian secara luas, yaitu:
  1. Learning Together. Dalam metode ini kelompok-kelompok sekelas beranggotakan siswa-siswa yang beragam kemampuannya. Tiap kelompok bekerjasama untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Satu kelompok hanya menerima dan mengerjakan satu set lembar tugas. Penilaian didasarkan pada hasil kerja kelompok.
  2. Teams-Games-Tournament (TGT). Setelah belajar bersama kelompoknya sendiri, para anggota suatu kelompok akan berlomba dengan anggota kelompok lain sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing. Penilaian didasarkan pada jumlah nilai yang diperoleh kelompok.
  3. Group Investigation (GI). Semua anggota kelompok dituntut untuk merencanakan suatu penelitian beserta perencanaan pemecahan masalah yang dihadapi. Kelompok menentukan apa saja yang akan dikerjakan dan siapa saja yang akan melaksanakannya berikut bagaimana perencanaan penyajiannya di depan forum kelas. Penilaian didasarkan pada proses dan hasil kerja kelompok.
  4. Academic-Constructive Controversy (AC). Setiap anggota kelompok dituntut kemampuannya untuk berada dalam situasi konflik intelektual yang dikembangkan berdasarkan hasil belajar masing-masing, baik bersama anggota sekelompok maupun dengan anggota kelompok lain. Kegiatan pembelajaran ini mengutamakan pencapaian dan pengembangan kualitas pemecahan masalah, pemikiran kritis, pertimbangan, hubungan antarpribadi, kesehatan psikis dan keselarasan. Penilaian didasarkan pada kemampuan setiap anggota maupun kelompok mempertahankan posisi yang dipilihnya.
  5. Jigsaw Proscedure (JP). Dalam bentuk pembelajaran ini, anggota suatu kelompok diberi tugas yang berbeda-beda tentang suatu pokok bahasan. Agar setiap anggota dapat memahami keseluruhan pokok bahasan, tes diberikan dengan materi yang menyeluruh. Penilaian didasarkan pada rata-rata skor tes kelompok.
  6. Student Team Achievement Divisions (STAD). Para siswa dalam suatu kelas dibagi menjadi beberapa kelompok kecil. Anggota-anggota dalam setiap kelompok saling belajar dan membelajarkan sesamanya. Fokusnya adalah keberhasilan seorang akan berpengaruh terhadap keberhasilan kelompok dan demikian pula keberhasilan kelompok akan berpengaruh terhadap keberhasilan individu siswa. Penilaian didasarkan pada pencapaian hasil belajar individual maupun kelompok.
  7. Complex Instruction (CI). Metode pembelajaran ini menekankan pelaksanaan suatu proyek yang berorientasi pada penemuan, khususnya dalam bidang sains, matematika dan pengetahuan sosial. Fokusnya adalah menumbuhkembangkan ketertarikan semua anggota kelompok terhadap pokok bahasan. Metode ini umumnya digunakan dalam pembelajaran yang bersifat bilingual (menggunakan dua bahasa) dan di antara para siswa yang sangat heterogen. Penilaian didasarkan pada proses dan hasil kerja kelompok.
  8. Team Accelerated Instruction (TAI). Bentuk pembelajaran ini merupakan kombinasi antara pembelajaran kooperatif/ kolaboratif dengan pembelajaran individual. Secara bertahap, setiap anggota kelompok diberi soal-soal yang harus mereka kerjakan sendiri terlebih dulu. Setelah itu dilaksanakan penilaian bersama-sama dalam kelompok. Jika soal tahap pertama telah diselesaikan dengan benar, setiap siswa mengerjakan soal-soal tahap berikutnya. Namun jika seorang siswa belum dapat menyelesaikan soal tahap pertama dengan benar, ia harus menyelesaikan soal lain pada tahap yang sama. Setiap tahapan soal disusun berdasarkan tingkat kesukaran soal. Penilaian didasarkan pada hasil belajar individual maupun kelompok.
  9. Cooperative Learning Stuctures (CLS). Dalam pembelajaran ini setiap kelompok dibentuk dengan anggota dua siswa (berpasangan). Seorang siswa bertindak sebagai tutor dan yang lain menjadi tutee. Tutor mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh tutee. Bila jawaban tutee benar, ia memperoleh poin atau skor yang telah ditetapkan terlebih dulu. Dalam selang waktu yang juga telah ditetapkan sebelumnya, kedua siswa yang saling berpasangan itu berganti peran.
  10. Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC). Model pembelajaran ini mirip dengan TAI. Sesuai namanya, model pembelajaran ini menekankan pembelajaran membaca, menulis dan tata bahasa. Dalam pembelajaran ini, para siswa saling menilai kemampuan membaca, menulis dan tata bahasa, baik secara tertulis maupun lisan di dalam kelompoknya.
Penyebutan dan penjelasan singkat tentang macam-macam pembelajaran tersebut diurutkan berdasarkan saat pelaksanaan penelitian awalnya oleh para ahli sebagaimana tampak pada Tabel Modern Methods of Cooperative Learning (Johnson et.al.:2000).
Seberapa banyak pun macam metode pembelajaran kooperatif/ kolaboratif yang pernah dikembangkan para ahli, Slavin (1995:12) merinci enam karakteristik dasar masing-masing, yaitu: (1) tujuan kelompok (group goals); (2) tanggung jawab individual (individual accountability); (3) kesempatan yang sama untuk menapai keberhasilan (equal opportunities for success); (4) kompetisi antarkelompok (team competition); (5) pengkhususan tugas (task specialization); dan (6) adaptasi terhadap kebutuhan-kebutuhan individu (adaptation to individual needs).
Modern Methods Of Cooperative Learning
Researcher-Developer Date Method
Johnson & Johnson Mid 1960s Learning Together & Alone
DeVries & Edwards

Early 1970s

Teams-Games-Tournaments (TGT)
Sharan & Sharan Mid 1970s Group Investigation
Johnson & Johnson Mid 1970s Constructive Controversy
Aronson & Associates Late 1970s Jigsaw Procedure
Slavin & Associates Late 1970s Student Teams Achievement Divisions (STAD)
Cohen Early 1980s Complex Instruction
Slavin & Associates Early 1980s Team Accelerated Instruction (TAI)
Kagan Mid 1980s Cooperative Learning Structures
Stevens, Slavin, & Associates Late 1980s Cooperative Integrated Reading & Composition (CIRC)

Pemanfaatan Komputer dalam Pembelajaran

Pembelajaran dengan bantuan komputer atau Computer Assisted Instruction (CAI) adalah pengajaran yang menggunakan komputer sebagai alat bantu. Kemajuan teknologi komputer (informatika) bahkan memungkinkan komputer berperan komplementer dengan dan sebagai instruktur dengan kemampuan, antara lain seperti yang dirinci Nasution (2000, 60-61) sebagai berikut:
  • menyimpan bahan pelajaran yang dapat dimanfaatkan kapan saja diperlukan;
  • memberikan informasi tentang berbagai referensi dan sumber-sumber serta alat audio-visual yang tersedia;
  • memberikan informasi tentang ruangan belajar, murid-murid dan tenaga pengajar;
  • memberikan informasi tentang hasil belajar murid; dan
  • menyarankan kegiatan-kegiatan belajar yang diperlukan oleh seorang murid serta menilai kembali pekerjaan murid pada waktunya serta memberi tugas-tugas baru untuk dikerjakan selanjutnya.
Dengan singkat dapat dipahami bahwa komputer telah membuka berbagai kemungkinan yang dapat dimanfaatkan guna pendidikan.

Pemanfaatan Internet dalam Metode Pembelajaran Kolaboratif

Pengalaman yang dilaporkan Annete de Jager dalam The Use of Internet: An Alternative Learning Experience oleh peneliti digunakan sebagai acuan untuk mendukung pembelajaran kolaboratif yang ditelitinya. Secara umum diakui bahwa internet telah menyediakan diri sebagai referensi yang murah-meriah bagi mereka yang hendak mengubah wajah dunia.
Percepatan perkembangan dunia ternyata juga telah menuntut pengembangan berbagai alternatif perspektif pembelajaran. Pemikiran tentang strategi baru dalam pembelajaran dikemukakan oleh Azimov (1996): “I do not fear computers. I fear the lack of them.” dan Papert (1992): “… the competitive ability is the ability to learn … new ways of thinking.”
Dipandang dari segi bisnis, sekolah adalah lembaga yang menawarkan pendidikan. Salah satu produk pendidikan adalah pengetahuan: pengetahuan tentang diri sendiri, dunia, lingkungan, dan sebagainya. Robinson (1994:106) melaporkan bahwa perkembangan pengetahuan terjadi secara eksponensial setiap dua setengah tahun. Tetapi hingga kini kiranya belum pernah ada upaya membandingkan waktu antara suatu informasi dapat dipublikasikan pada internet dengan waktu yang dibutuhkan untuk menerbitkan buku-buku dan menjajakannya di toko-toko.
Pada kenyataannya perkembangan teknologi informatika yang sedemikian pesat telah membuktikan bahwa internet telah bersicepat dengan sumber-sumber informasi lain dalam penyampaian informasi terbaru. Masa depan adalah milik mereka yang memiliki akses hampir ke seluruh informasi tanpa batas itu dan mereka yang mampu menjadikan informasi diterima secepat mungkin.
Isu-isu utama yang dimuat dalam White Paper (1995) mencakup: pendidikan berkualitas tinggi, integrasi teknologi, pembelajaran seumur hidup, komunikasi, keterampilan berpikir kritis dan mandiri, calon-calon yang dipersiapkan dengan baik untuk memasuki pendidikan tinggi dan pembinaan karir.
Sementara itu Wheatly (1991:15) dan Merrill (1992:11) menyimpulkan bahwa mayoritas siswa menganggap matapelajaran berhubungan dengan problematika dari:
  • sesuatu yang oleh para guru disampaikan begitu saja tanpa memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyusunnya sendiri;
  • sesuatu yang harus dapat dijawab segera;
  • sesuatu yang tidak akan terpecahkan jika siswa tak menemukan jawabannya dalam waktu lima menit;
  • sesuatu yang jika sudah dikuasai akan memberikan nilai A.
Untuk mencapainya, para guru pada umumnya menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar yang berpola Stimulus-Response dan penilaian dilakukan dalam masa belajar tertentu dari tujuan-tujuan akhir pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya beserta dan di dalam kurikulum yang seragam.
Berdasarkan alasan penyebaran pengetahuan, isu-isu dalam White Paper dan kebutuhan-kebutuhan siswa, jelaslah bahwa:
  • Kualitas pendidikan menuntut adanya suatu alternatif strategi pembelajaran yang baru;
  • Peranan guru sebagai sumber informasi harus diubah menjadi fasilitator pembelajaran (Carey 1993:107);
  • Peranan siswa sebagai peserta pasif harus diubah menjadi peserta yang aktif terlibat dalam upaya kolektif mengatasi masalah (Jonassen:1996).
Teknologi komputer dan pendekatan kognitif-konstruktivistik dalam pembelajaran membuka peluang emas untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan itu (Bruder, 1992:18; Papert, 1992: 168). Hal senada diungkapkan oleh Purbo et.al. (2002) sebagai berikut: “Konsep Knowledge Management belajar mandiri yang berbasis pada kreativitas siswa dan mendorong siswa melakukan analisa hingga sintesa pengetahuan menghasilkan tulisan, informasi dan pengetahuan sendiri menjadi fokus yang lebih mengarah ke masa depan. Siswa tidak lagi dibombardir dengan doktrin ilmu pengetahuan, tetapi lebih dirangsang untuk mengeksplorasi pengetahuan dan menjadi bagian integral proses pemurnian pengetahuan itu sendiri.”

Tahap-tahap Rancangan Kognitif-Konstruktivistik dan Komunikasi Elektronik

Perangkat lunak komputer dapat dibedakan menjadi dua, yakni perangkat lunak single dan perangkat lunak multipurpose. Yang pertama mengarah pada drill, tutorial, simulasi, permainan dan referensi, sementara yang kedua memasukkan pula pengolahkata, lembar kerja, pangkalan data, presentasi dan komunikasi elektronik.
Komunikasi elektronik cocok dengan pembelajaran kognitif-konstruktivistik dan memberikan kesempatan kepada partisipan aktif untuk belajar melalui aneka sudut pandang dan untuk menjadi pengolah informasi ke dalam susunan jaringan semantik pengetahuan yang terhubung dengan pengetahuan yang diperoleh sebelumnya. Hal ini diyakini akan dapat mengubah situasi pembelajaran konvensional yang masih diselenggarakan sekarang seperti dikatakan oleh Kort (1996): “…the biggest failure of our system of education is the manner in which learning has been transformed from a joyous experience into one of boredom and anxiety.” Kendati demikian perlu pula diwaspadai peringatan Maddux (1994:40) bahwa: “… the Internet will likely remain a huge, unwieldly collection of resources that is not completely understood by anyone.”
Lebih jauh, komunikasi elektronik memberikan akses ke informasi dan komunikasi yang nyaris tak terbatas. Menurut de Jager, prinsip ini mengarah pada metodologi rancangan empat tahap pembelajaran kognitif-konstruktivistik: persiapan, penyusunan gugus belajar, kesempatan belajar dan pelengkapannya.
Tahap persiapan
  • Analisis terhadap perangkat keras dan perangkat lunak
  • Analisis terhadap para siswa, apakah mereka cukup memahami cara menggunakan komputer dan perangkat lunaknya
  • Pokok bahasan dalam kurikulum yang sesuai
  • Pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sebelumnya.
Tahap penyusunan gugus belajar
Guru menyusun gugus belajar ke dalam waktu yang sesuai dengan problem otentik. Pebelajar menyusun tujuan-tujuan mereka sendiri dan pertanyaan-pertanyaan untuk memecahkan permasalahan.
Kesempatan belajar
Siswa memiliki akses ke teknologi komputer dari tempat terpisah. Mereka memiliki kesempatan berkomunikasi lewat e-mail dengan pribadi-pribadi lain atau kelompok layanan terdaftar, menjelajahi World Wide Web (WWW) dan menggunakan referensi-referensi lain yang tersedia. Melalui e-mail, setiap kelompok melaporkan kepada guru perkembangan aktivitasnya, atau menanyakan hal-hal tertentu dan mendiskusikan berbagai problem keseharian.
Pelengkapan
Pada akhir kesempatan belajar, para siswa memiliki portofolio yang lengkap dari pemecahan masalah mereka sendiri sebaik yang terdapat pada referensi, misalnya surat-surat (e-mail), hasil yang terdapat pada WWW, dan sebagainya.
Penilaian
Penilaian berasal dari berbagai sudut pandang: guru-guru, teman-teman sekolah, orangtua, dan sebagainya.

Sumber : ruhcitra.wordpress